Kamis, 09 Desember 2010

kebudayaan suku flores



suku flores
Flores, dari bahasa Portugis yang berarti "bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores, di tahun 2007, mencapai 1,6 juta jiwa. Puncak tertinggi adalah Gunung Ranakah (2350m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis, 2427m di Timor Barat. Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Flores, dengan luas, jumlah penduduk dan sumber daya baik alam maupun manusia yang dinilai cukup memadai, kini tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di NTT. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor.Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi.
Suku bangsa Flores adalah merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.

Admiristrasi
Flores adalah bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten; dari barat ke timur sebagai berikut: Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo, Manggarai dengan ibukota Ruteng, Manggarai Timur dengan ibukota Borong, Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo dengan ibukota Mbay, Ende dengan ibukota Ende, Sikka dengan ibukota Maumere, dan Flores Timur dengan ibukota Larantuka.
Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi.

 Flora dan Fauna
Flores memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus komodoensis atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, keduanya terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Flores juga memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu di awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu melai mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati TN Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi, nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.flores memiliki topo yang ngala wela ata.orang flores yang terkenal adalah"chekos,cevin,phadel,janssen,primus,kae sandro,kae chuil,kae tito,om tigor,aristo,ager dan matatu crew

Situs arkeologi
Pada September 2003, di gua Liang Bua di Flores barat, paleoantropologis menemukan tengkorak spesies hominid yang sebelumnya tak diketahui. Temuan ini dinamakan "manusia Flores" (Homo floresiensis, dijuluki hobbit). Penemuan ini dimuat dalam majalah Nature edisi 28 Oktober 2004. Status temuan ini sekarang masih diperdebatkan, apakah termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.

kebudayaan suku tidung



suku tidung
Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kalimantan Timur. Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun Malaysia (negeri Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.

bahasa suku tidung
Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.

Bahasa Tidung termasuk dalam "Kelompok Bahasa Tidung" salah satu bagian dari Kelompok Bahasa Dayak Murut.
Kelompok Bahasa Tidung terdiri :
  1. Bahasa Tidung (tid)
  2. Bahasa Bulungan (blj)
  3. Bahasa Kalabakan (kve)
  4. Bahasa Murut Sembakung (sbr)
  5. Bahasa Murut Serudung (srk)
Persamaan kosakata bahasa Tidung dengan bahasa-bahasa Kalimantan lainnya, misalnya :
Melayu Tidung
Kepala Utok
Rambut Abuk
Telinga Telingo
Hidung Adung
Pipi Malo
Mulut Kabang
Leher Liog
Perut Tinay
Tangan Tendulu
Kaki Tanog
kuku Sandop
Paha Apa
Lutut Atut
Pinggang Awak
Dada Kubab
Bapak Yama
Ibu Ina
Nenek Yadu
Kakek Yaki
Paman Yujang
Tante Keminan
Adik Yadi
Kakak Yaka
Keponakan Yakon
Cucu Ingkupu
Saudara Pensulod
Nenek Moyang Yadu yaki
Ipar Yangu
Menantu Anak Iwan
Mertua Iwan

Wilayah penutur
Penutur Bahasa Tidung pada umumnya terdapat diwilayah Kalimantan timur dan sabah malaysia. dari 13 Kabupaten dan kota yang ada di provinsi kalimantan timur ini. Penutur Bahasa Tidung terdapat pada tujuh Kabupaten di kaltim dan tiga kota di negeri sabah. Sepuluh daerah tersebut adalah,Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu.

Peranan dan kedudukan bahasa suku tidung
Penutur Bahasa tidung, khususnya Tidung Tarakan adalah dwibahasa. Mereka berbahasa Tidung,tetapi juga dapat berbahasa Indonesia.Kedudukan Bahasa Tidung di dalam interaksi sosial, orang-orang tidung kelihatannya cukup kuat.Tidak ada kesan sikap rendah diri kalau mereka menggunakan bahasa Tidung baik di dalam percakapan ketika mereka sedang berbahasa lain,maupun dalam kesempatan berbicara dengan suku lain dalam bahasa Tidung. Mereka merasa bangga jika ada suku lain ikut berbicara bahasa Tidung atau mencoba-coba menggunakan bahasa tidung. Mereka pada umumnya dengan senang membetulkan kesalahan apabila seseorang yang bukan penutur asli bahasa Tidung mencoba berbahasa Tidung.
Suku Tidung semuanya menganut agama Islam. Mereka banyak bergaul dengan berbagai suku lain, Seperti orang bugis, Banjar, Jawa, Bulungan dan etnis Tionghoa. Oleh karena pergaulan ini, mereka pun banyak yang menguasai bahasa-bahasa suku itu. Akibat pergaulan ini, banyak terjadi peminjaman kata-kata daerah lain yang terserap kedalam bahasa Tidung. hal yang sama terjadi pula dalam bahasa Indonesia. Akibatnya adalah terjadinya interfensi bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia kedalam bahasa Tidung.

Tradisi Lisan tau Tulisan
Dahulu pernah ada cerita tentang masyarakat Tidung yang tertulis, terutama yang berhubungan dengan riwayat para raja atau cerita kepahlawanan orang Tidung. akan tetapi, kini tulisan seperti itu tidak pernah ditemukan lagi. Yang masih hidup adalah cerita rakyat Tidung yang diwariskan secara lisan dari orang tua kepada anaknya. Beberapa cerita lisan rakyat Tidung itu, antara lain sebagai berikut :
  1. Asal-usul Orang Tidung Tengara
  2. Lasedne sinan pagun / Tenggelamnya kampung Jelutung
  3. Seritan Ibenayuk / Cerita Ibenayuk
  4. Si Benua dan Si Sumbing
  5. Seludon Yaki Yamus / Cerita Raja Empat Mata
  6. Seludon Batu Tinagad / Cerita Batu di tebang
  7. Yaki Balak / Aki Balak
kesultanan Sulu
Dikatakan Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat atau Pangiran Bakhtiar telah berkahwin dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal dari daerah Tirun (Tidung). Dan juga karena ingin mengamankan wilayah North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei, seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat iaitu Sultan Badaruddin-I juga telah memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung. (Isteri pertama Sultan Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Maka lahirlah Datu Lagasan yang kemudianya menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I ibni Sultan Badaruddin-I). Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.
Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lah seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang Meria. Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu (menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar Sultan Bantilan Muizzuddin. Adindanya Dayang Meria dikatakan berkahwin dengan seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu Tating. Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga Maharajah Adinda, yang kini merupakan "Pewaris Sebenar" kepada Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil "Tartib Sulu".
Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila (Wafat pada 30.06.2007 di Kudat, Sabah). Dan juga dinyatakan bahawa 'Putera Mahkota' kesultanan Sulu kini adalah putera bongsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai "Raja Bongsu-II" (*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja Bongsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei. Dikatakan Raja Bongsu ini telah dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah Tengah ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera. Ibu Raja Bongsu ini adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang berkahwin dengan Sultan Muhammad Hassan).

kebudayaan suku boges



Suku bugis
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Awal Mula Terjadi Suku 
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan 
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.  Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Penyebaran islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.

Mata pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Perompakan
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.

Rabu, 08 Desember 2010

kebudayaan suku jawa



Suku Jawa
suku jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

Bahasa suku jawa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Kepercayaan suku jawa 
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.

Profesi suku jawa 
Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.

Seni suku jawa 
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.